Cerita - Cerita PeNdeK

Nama:
Lokasi: Bandung, JAWA BARAT, Indonesia

Selamat datang di blog webmaster, website ini merupakan blog pribadi sekaligus lahan untuk bisnis online. Semua tulisan yang ada disini adalah Copyright dari webmaster, walaupun ada sebagian yang copas.. hehehe... :)) Segala sesuatu yang membuat anda menjadi tambah pintar karena website ini, silahkan bagi-bagi hasilnya,,terakhir jangan lupa beri komentar yah mengenai web ini,, Thank's a Lot... :-)

Rabu, 03 September 2008

SATU CINTA UNTUK CINTA





Cinta, karena engkaulah sebuah alasan untuk aku, menjadi manusia terkokoh dalam sejarahnya. Cinta, menyebutmu bagai setetes embun yang memberi hidup pada kembang yang pernah mengering. Cinta, izinkan aku menjadi angin, hingga aku dan dirimu tidak akan pernah dipisahkan masa yang akan segera berkarat. Biarlah hadirku tak pernah terkabul dalam wujudnya, tapi aku ingin hembusannya berjalan beriringan denganmu.
Aku memang dekat denganmu. Tapi ketika engkau mulai melontarkan pertanyaan yang sama untuk kesekian ribu kalinya, aku hanya membisu, kembali membisu dan merasa jauh dari dirimu. Kadang aku merasa terasing dan seolah tak mengenalmu. Aku hanya mampu menggigit bibirku dan menelan ludah, berharap sekatan-sekatan diamku yang membeku mulai mencair dari bengkaknya.
“Mengapa begitu mencintaiku ?” pertanyaan itu kembali terlontar lagi dari bibirmu yang lugu. Aku pun melemah. Wahai cinta ! aku ingin sekali melarang engkau dan melarang engkau untuk bertanya lagi. Engkau tahu cinta, aku telah bersumpah untuk tidak mendengar pertanyaan itu lagi. Cinta, engkau bertanya bukan karena meragukan pengorbanan yang selama ini kuberikan ? bukan karena tak lagi mempercayai ketulusanku ? bukan karena kini engkau membandingkan cintaku, dengan cinta orang-orang asing itu ?.
Ingatkah cinta pada lelaki itu ? lelaki yang pernah mengisi relung hati perempuan ini. Lelaki yang telah meneduhkan dirinya dengan kesabaran. Mencintai perempuan ini dengan segala kesederhanaan dan kekayaan hatinya. Lelaki terbaik yang juga mencintaimu tanpa syarat. Lelaki yang sepanjang sisa hidupnya menimang-nimang tubuhmu yang mungil, menciumimu dengan kasih sambil menceritakan dongeng-dongeng yang akan mengantarmu tertidur pulas. Lelaki yang selalu khawatir dengan rengekan-rengekan lirih yang keluar dari bibirmu. Ia membuatmu bagai putri kecil di istana hatinya. Siang dan malam ia rela menanggung beban dunia ini di punggungnya yang semakin menua. Perempuan ini tidak diberi bagian pilu perjuangannya, bahkan menyentuh keluhan-keluhan yang tak pernah terucap, membiarkannya menjadi sebuah rahasia. Ia hanya membuka dirinya untuk sebuah alasan dalam senyuman dan kebahagiaan, yang ia berikan pada perempuan ini dan engkau cinta, karena engkau buah hatinya.
Cinta, engkau tak perlu mengetahui kedalaman rasa cinta dan sayangku. Rasa cinta ini sudah mendarah daging dalam tubuhku. Bahkan sudah menjadi nadi hidupku. Hati ini sangat hancur, seolah tulang-tulangku remuk dan berserakan, ketika aku mendengar rintihan dukamu atau saat orang-orang tak berperasaan itu menyakitimu. Aku bisa mati, cinta ! Bagaimana tidak !? karena engkau belahan jiwaku. Aku rela jika harus menanggung perih yang kini bersemayam di dirimu. Asalkan engkau tetap mengizinkan aku menyentuhmu, mendengar tawamu, melihat senyummu dan menjadi pahlawanmu kala engkau tak berdaya.
Melihat matamu yang bening. Meluruhkan setetes demi setetes bongkahan-bongkahan kebencian, amarah dan dendam yang selalu menggelayuti hatiku. Engkau mengajarkan aku bagaimana mengarifi hidup, yang terkadang begitu sulit untuk aku maafkan. Engkau mengajari aku arti sebuah kesungguhan untuk berkorban tanpa pamrih. Tak perlu engkau mendengar bisikan lelah, dan menatap lelehan air mataku karena rasa takut dan cemas kehilangan dirimu.
Kata-katamu yang lembut menghapuskan amarah. Doa yang menumpuk telah mengubur dalam-dalam rasa itu. Doa yang bisa menyibak dosa-dosamu menuju langit, dan menyulapmu menjadi malaikat suci tanpa cela. Terkadang jika aku sendiri, aku merasakan ketakutan yang teramat sangat, cinta. Takut engkau pergi jauh, dan tak akan pernah kembali ke sisiku lagi untuk selamanya. Ingin rasanya aku mendekapmu erat-erat. Dan mengunci semua pintu dan jendela di rumah ini, seolah-olah aku tak ingin hari merangkak dan berganti menjadi hari ini, lusa atau esok nanti. Andai engkau bisa menengok pikiran perempuan ini saat mencuri pandang padamu, perempuan ini pernah hidup dengan keegoisan yang menyiksa. Tak rela engkau menanam kasih pada hati yang sejati tak dikenali.
“Mengapa begitu mencintaiku ?” cintaku bertanya. Pertanyaan yang abadi, seketika aku menangis. Aku tidak mengerti, apa yang kutangisi ? apa karena aku tak sanggup memberikan jawaban ? atau aku menangisi dirinya ? apakah cinta bisa menerima lelehan air mata yang mulai berbunga dengan aneka warna ini ?. Sanggupkah cinta mengurai setiap rasa yang pernah tersimpan ? dimana aku begitu perih dicabik-cabik, menahan semua larutan emosi. Ketika orang-orang asing itu menyakitiku dan menyakitimu, lalu meninggalkan kita, dalam ruang kepayahan yang sudah tidak dipandang lagi oleh mereka, tapi aku terlanjur memahatmu menjadi seorang malaikat, semenjak dari rahimku. Akulah yang memahatmu dan mengukirmu dengan segenap ketulusan dan anugerah cinta tanpa batas. Doa-doaku telah hanyut menuju muara kalbumu, Dan engkau pun menjadi hujan yang memberi hidup pada padang rumput yang terbakar. Kala suara merdumu memecahkan sunyi senyap kehidupanku. engkau menggantikan bait-bait keangkuhan dengan nyanyian-nyanyian rahmat.
Menatapmu seolah berdiri di ruangan kaca yang memantulkan bayangan diri sendiri. Lalu aku akan menyambut tanganmu dan engkau akan berjalan pelan, meniti jembatan kehidupan yang telah kita desain dahulu, diatas kerikil-kerikil tajam yang sering melukai telapak kaki kita tanpa henti. Begitu hati-hatinya kita, hingga aku tidak ingin engkau masuk ke dalam jurang yang dulu pernah aku masuki.
Zaman ini telah memakan masa mudaku. Mulai merapuhkan tulang-tulang tubuhku. Tapi tidak sanggup merapuhkan nyala semangat hidupku. Tubuhku semakin ringkih dan pucat. Sedang engkau, seolah membuatku akan mengecap hidup ribuan bahkan ratusan tahun lagi, pada saat engkau mengembalikan ingatanku yang mulai pupus, dengan kenangan-kenangan masa lalu yang begitu manis. Mendengarmu bercerita, seperti awan yang berbicara pada bumi, seperti bintang yang berkata pada bulan dan seperti buih yang mengadu pada ombak. Malam menjadi tak semakin larut, matahari enggan untuk terbit. Waktu telah menjadi mati. Lalu tawa kita berderai riang. Hanya kita berdua.
“Mengapa begitu mencintaiku”? tunggulah dengan sabar. Bukankah kini sudah puluhan tahun engkau mengiringiku. Engkau begitu kuat dan begitu hebat melewati kerikil-kerikil curam ini. Maafkan aku cinta kalau aku tanpa sengaja menarik lenganmu dalam perjuangan ini, dalam perihan derita yang seharusnya aku tanggung sendiri.
Sedang engkau selalu bercahaya. Engkau selalu hadir tanpa luka. Hadir dalam tumbuhnya kembang-kembang santun dalam taman akhlak. Matamu yang lembut, ingin mengajakku menyelami kedalaman sanubarimu yang tersembunyi. Aku bahagia, cinta, memiliki anugerah seperti dirimu. Dirimu telah membuatku menjadi orang paling beruntung di jagat raya ini. Kau memujaku seperti penyembah kepada sesembahannya.
“Mengapa begitu mencintaiku ?” kuulurkan tanganku yang telah keriput. Engkau menyambut dan menggenggam erat dengan dua tanganmu. Seketika aku memandang wajahmu yang elok. Lirihan dzikir keagungan mulai menyusupi jiwaku. Engkau bersimpuh tunduk penuh pengharapan. Seketika matahari menghilang dengan segera. Menetaskan senyap kebisuan. Sepertinya kenangan-kenangan itu semakin menjauh dari benakku. Entah mengapa aku merindukanmu, cinta. Aku rindu mendengar suaramu, aku rindu menyentuh rambutmu yang hitam, seperti dulu kala engkau merengek manja bila menginginkan sesuatu, alangkah menyakitkan berjauhan dengan orang yang dikasihi. Jika kini engkau menangis, cinta, apakah karena kasihan pada perempuan lemah ini, yang hanya terbaring sambil menghitung jumlah bintang-bintang yang telah lewat ? apakah karena aku menyisakan kepingan-kepingan luka yang masih tertahan ? apakah karena engkau tak sanggup kehilangan perempuan ini ? tidak cinta …! tidak… ! aku tak akan meninggalkanmu. Aku akan selalu hidup untukmu. Aku akan selalu hidup di dalam hatimu, karena engkaulah yang memberi ruang itu hanya untukku. Cinta… jika aku sudah tak bisa melihat matahari terbit, jika aku tak bisa melukis lagi tentang indahnya pelangi, jika tutur kataku terpenjara oleh bibir yang terkatup, jika mata ini enggan untuk menerima warna dunia ini, dan jika hari ini dan hari esok bukan haknya lagi perempuan ini, karena takdir sudah menghentikan alurnya. Aku mohon dengan sangat, berikanlah aku tempat itu, cinta, tempat yang begitu hijau yang selalu aku rindukan, aku ingin hidup dengan lelaki itu, lelaki yang telah pergi mendahului dengan membawa sebagian jiwa perempuan ini, dan membawa engkau dalam hatinya.
Cinta, perempuan ini tidak mempunyai nyali melawan takdir. Aku pinta jangan engkau membingkiskan bunga air mata disamping pembaringanku yang mulai mendingin. Tak perlu menyesal berjauhan dengan raga perempuan ini, aku hanya ingin menetap di hatimu yang indah, yang selalu lirih menyebut perempuan ini dengan sebuah kata teragung… ibu…!, ingatlah aku cinta, kenanglah dan alirilah cintamu dengan cinta yang tulus aku berikan padamu selama ini, pada belahan jiwamu kelak, hingga engkau mengerti mengapa aku begitu mencintaimu dan tiada pernah lelah mencintaimu.

Satu hadiah hati…
Untuk satu rindu…
Untuk satu cinta…
Untuk satu wanita terbaik dan teragung dalam hidupku,
Ibu…

Ditulis Oleh : Ai Rohaeti

DI AKHIR EMPAT MUSIM

Alunan takbir mulai terdengar jelas dari masjid dekat rumahku. Ahh… aku menghembuskan napasku pelan-pelan, seolah-olah tidak ingin ada orang yang mengetahuinya. Aku pun beranjak menghampiri jendela kamarku, kusibakkan tirai jendela berwarna biru tua itu. Aku melihat di luar sana anak-anak ramai mengumandangkan takbir sambil bersenda gurau dengan kawan-kawannya yang lain. Sebagian diantaranya menyalakan kembang api, sambil berlari-lari kecil. Mata mereka memancarkan bahagia, seolah-olah sudah tak sabar menanti hari raya idul fitri besok pagi. Terkadang aku merasa iri, iri karena masa kanak-kanak adalah masa yang menyenangkan, tidak ada beban pikiran yang harus ditanggung layaknya orang dewasa. Sejenak aku termenung, entah mengapa hati kecilku mulai meneteskan kesedihan yang teramat sangat. Tak terasa kesedihan itu mulai mengurai-ngurai kenangan-kenangan yang telah lama aku simpan, dan aku tak ingin seorang pun mengusiknya, bahkan sahabat dekatku sekalipun. Biarlah aku memendamnya hanya untuk diriku sendiri.
Aku membalikkan tubuhku, kuhampiri meja belajarku. Aku duduk termangu-mangu, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dalam kegelisahanku, pelan-pelan aku tarik laci meja belajarku. Tanganku meraih sebuah foto. Kedua mataku menatap foto itu dengan seksama. Aku tidak tahu sudah berapa ratus kali, atau jutaan kali aku menatap foto itu. Aku melihat diriku disana tersenyum dengan gaya yang dulu kuanggap keren, kupandangi dengan teliti wajah-wajah sahabatku yang lain. Begitu bahagianya kami, awal-awal persahabatan yang begitu manis dan tak akan pernah kulupakan. Tiba-tiba mataku tertuju pada wajah seseorang di foto itu. Seseorang yang begitu dekat, sekaligus begitu jauh denganku. Andini… bibirku lirih dan kelu menyebut nama perempuan itu. Mengingat dan menyebut namanya mau tidak mau mulai melahirkan rasa bersalah padanya, aku sadar bahwa kami tidak akan seperti dulu lagi. Aku tidak akan pernah lagi mendengar cerita-ceritanya menghiasi hidupku, tidak akan pernah lagi mendengar tawanya yang riang bila melihat tingkah dan leluconku yang lucu, atau sekedar melihat senyumnya yang mengembang tulus jika bertemu denganku.
***
Musim pertama setahun perkenalan kami, aku berjumpa dirinya dengan beberapa sahabatnya. Dari jauh ia memandang diriku, kemudian menundukkan matanya. Aku pun menyapa mereka dan mengucapkan salam. “Alhamdulillah, saya baik-baik saja “ jawabnya, ketika aku menanyakan kabarnya selama liburan beberapa pekan yang lalu. Ingin rasanya aku mengobrol lebih banyak lagi dengan Andini, tapi urung aku lakukan karena masih banyak sahabat-sahabatku yang lain belum aku kunjungi, dan aku terlanjur sudah berjanji pada mereka. Rasanya tidak enak kalau harus membatalkannya.
Jujur saja, aku begitu merindukan suaranya. Aku begitu merindukan hari itu, hari dimana Andini menghampiri diriku.
“Yusuf, aku mau bercerita sesuatu padamu “ atau “Aku butuh bantuanmu, Yusuf ! “. Aku rindu kata-kata itu mengalir dari bibirnya yang lugu. Kata-kata yang begitu ampuh menjadikanku bak pahlawan bagi dirinya pada saat itu juga. Aku rindu dengan mimik wajahnya yang polos tanpa beban, kala ia duduk disampingku dan mulai menceritakan sesuatu. Dan seperti biasanya ketika ia kehabisan topik pembicaraan, ia pun mulai setengah memaksa diriku untuk menggantikan perannya sebagai sang pencerita. Dan aku pun akan terdiam sesaat, hingga rona mukanya memerah karena malu, lalu aku akan mentertawakannya, tak kuasa menahan geli. Tapi itu hanya mimpi, itu hanya masa lalu. Andini yang begitu dekat dan begitu peduli padaku, kini bersikap acuh tak acuh. Kupikir dia hanya sedang marah sesaat padaku. Ternyata dugaanku salah besar. Bukan hanya hitungan hari atau hitungan jam ia bersikap acuh padaku. Tapi hitungan tahun dan ribuan jam ia menjauhi diriku dengan menggantungkan banyak pertanyaan di benakku, mengapa ?... , mengapa ?... dan mengapa ?... Terbersit dalam hatiku untuk bertanya langsung padanya, walaupun pada kenyataannya hanya kebisuan dan jawaban yang menghilang di telan bumi yang aku dapatkan.
***
Di musim kedua, tidak ada yang bisa kulakukan selain hanya fokus pada belajarku. Aku tidak mau mengecewakan keluargaku yang sudah susah payah menyekolahkanku di universitas ini. Aku ingin membahagiakan mereka, dan membalas kebaikan serta pengorbanan mereka selama ini. Di kota ini aku tidak memiliki sanak saudara, aku sangat kesepian. Kadang-kadang air mataku menetes bila rindu kampung halamanku, rindu pada ibu dan bapak yang selalu menanti dengan harap-harap cemas anak laki-lakinya ini. Untunglah banyak sahabat-sahabatku yang selalu mendukung dan mengajakku untuk aktif di kegiatan-kegiatan yang diadakan kampus. Aku merasa tidak sendiri lagi. Kesibukan belajar dan kegiatan-kegiatan kampus sudah begitu banyak menyita perhatianku selama ini. Sudah lama pula aku tak mendengar kabar Andini dan berjumpa dengannya. Bagaimana kabarnya sekarang? pikirku di tengah-tengah kesibukanku mengerjakan tugas makalahku yang menumpuk di akhir semester ketiga ini. Sudah sebulan aku tidak berjumpa dengannya.
***
Di masjid kampus aku sandarkan punggungku ke dinding masjid. Lega rasanya beristirahat disini, melepas lelah setelah beberapa jam tadi mengikuti ujian akhir semester. Udara dingin yang berhembus di koridor masjid, membuatku setengah mengantuk. Para mahasiswa yang sudah menyelesaikan shalat dzuhur mulai meninggalkan masjid satu-persatu. Di pojok koridor masjid masih terlihat beberapa kelompok mahasiswa yang masih asyik berdiskusi tentang tugas-tugas kampus. Rasanya aku malas pulang ke rumah kostku, dalam keadaan udara siang hari dengan panas menyengat seperti ini, walaupun jarak antara kampus dan rumah kostku tidak begitu jauh. Selintas aku melihat sosok yang begitu aku kenal selama ini. Andini… ya, itu Andini, Aku sangat terkejut melihatnya. Tak kusangka selama sebulan aku tidak berjumpa dengannya ia sudah berubah. Kini ia menggunakan jilbab lebar warna putih dengan menggunakan gamis warna hijau muda. Ia tidak melihatku, wajahnya menunduk dan sepertinya ia sedang terburu-buru.
“Andini…” suara itu akhirnya meluncur juga dari mulutku. Panggilan itu hampir tersekat di kerongkongan. Rupanya kurang keras panggilan itu. Andini terus saja berjalan. Tinggal aku sendiri yang masih terdiam di koridor masjid kampus, sambil memandang dirinya.
***
Sejak pertemuanku dengan Andini di masjid. Aku mulai sadar bahwa tidak hanya penampilan luarnya saja yang berubah, tapi sikap, tutur kata dan cara berpikirnya pun seratus persen berubah. Awalnya aku masih belum terbiasa dengan perubahannya itu. Tapi lama-kelamaan dalam hati kecilku muncul perasaan kagum dan hormat padanya. Sekarang Andini lebih banyak diam daripada berbicara. Ia hanya berbicara sekedarnya saja padaku, apabila ada hal-hal penting yang harus disampaikannya. Andini tidak seperti sahabat-sahabat perempuanku yang lain, yang kadang-kadang terlalu berani dalam pergaulan terhadap lawan jenis. Sahabat-sahabatku di kampus selalu membicarakannya. Apalagi tentang keshalihannya. Tetapi justru perubahannya itu membawa dampak besar pada persahabatan kami. Ia semakin sulit untuk aku dekati, bahkan ia terkadang selalu menjaga jarak denganku. Walaupun tidak kupungkiri ia tetap sahabat terbaik yang aku kenal.
Hari-hari terus bergulir, sedangkan Andini semakin asing bagiku. Ada perasaan kehilangan yang semakin menggerogoti hati dan ketenanganku. Bahkan perasaan itu lambat laun mulai menyiksaku. Sedangkan Andini seolah tidak mau lagi peduli denganku. Ia selalu pergi berlalu dariku atau membuang pandangannya, ketika ia mendapati aku sedang sembunyi-sembunyi memandang dirinya. Entah mengapa aku merasa dunia begitu sempit, padahal dulu bukankah dunia ini begitu luas untuk aku tinggali. Aku selalu bermimpi di malam hari yang sunyi, berharap Andini hanya sedang mencandaiku selama ini. Lalu ia akan tertawa riang karena berhasil membuatku sedih atas sikapnya itu. Tapi… harapan itu kembali pupus, ketika kusadari esok paginya ia semakin tenggelam dalam keterasingannya padaku.
“Maafkanlah aku, Andini “ ucapku, di suatu musim akhir tahun kedua. Daun-daun di musim itu berguguran dan terjatuh layu di pangkuannya. Tangannya perlahan meraih selembar daun yang sudah meranggas kering. Menggenggamnya dan menyerahkannya padaku dengan senyuman yang tidak aku bisa pahami. Dan ketika itu pula hatiku menangis dalam diam.
***
Di awal musim ketiga, aku kini hidup bertemankan rasa bersalah yang telah menemukan puncaknya. Setetes demi setetes, kurasakan pula ketidakadilan yang diberikan Andini padaku. Bukankah aku juga punya hak seperti sahabat-sahabatnya yang lain ?! yang ia percayai, ia sayangi dan ia terima pula seluruh hidupnya. Sedangkan aku ?!, kini aku menilai, bahwa aku tak lebih dari manusia menjijikan berlumuran kotoran, hingga ia merasa jijik dan menolakku untuk dekat dengannya.
Andini… berilah aku ruang ampunan untuk menyimpan maaf. Akan aku katakan ratusan maaf, ribuan maaf bahkan jutaan maaf untukmu. Walaupun kuakui bahwa aku mulai ragu, entah ragu pada dirinya yang belum tentu memaafkanku?, ragu pada ketulusanku sendiri padanya selama ini?, atau ragu…kalau aku sendiri belum tahu apa kesalahanku selama ini padanya?. Aku semakin bingung dan merasa… tolol !.Terkadang rasa ego ini mengatakan, untuk apa kulakukan semua ini ?!, bersimpuh padanya layaknya pengemis, hanya untuk mendengar dari bibirnya sebuah kalimat ampunan “Yusuf, aku memaafkanmu”. Andai aku bisa membaca pikiran dan isi hatimu Andini, mungkin aku tidak akan pernah membuat luka yang mungkin sedang kau rasakan saat ini, bisikku. Tapi aku tak mampu! tak pernah mampu! karena aku hanya manusia, bukan malaikat!. Bicaralah Andini, bicaralah lalu katakan apa salahku padamu! jangan hanya diam membisu, belum cukupkah kau menghukumku seperti ini!. Jangan biarkan pikiranku perlahan-lahan menjadi sesat, Andini ! jangan pernah !.
***
Hari ini di musim keempat, Andini duduk disana seorang diri dalam taman kelabu miliknya sendiri, dalam kesunyian dan kesedihan. Bibirnya terkatup, matanya menunduk sayu, melihat ulah angin di senja itu mempermainkan daun-daun di ujung sepatunya. Jilbab warna coklat yang dikenakannya sangat kontras dengan pipinya yang putih. Kedua tangannya perlahan-lahan mulai memeluk badannya. Badannya terguncang pelan, menahan tangis sekuat tenaga, lirihannya begitu menyayat hati. Akhirnya perjuangan Andini sia-sia, di sudut mata luruhlah air mata itu membasahi pipinya.
Aku ingin masuk ke taman itu, menyeka air matanya dan mengatakan padanya bahwa ia tidak pernah sendiri. Dari kejauhan aku tidak bisa mempercayai, bahwa perempuan yang sedang duduk di taman itu adalah perempuan yang pernah kukenal, yang dulu penuh dengan keceriaan, penuh dengan ketulusan dan penuh dengan cita-cita mulia dalam hidupnya. Dan tidak pernah meneteskan air mata di hadapan laki-laki ini. Kini ia seperti perempuan tak berdaya, yang mulai mengikis ketegarannya satu demi satu seiring kembalinya mentari di ufuk barat. Tapi aku tidak bisa masuk ke taman itu, pagar ini terlalu kokoh, terlalu angkuh, dan saat itu juga aku merasa lemah. Aku tidak menjerit bahkan berteriak menyebut namanya agar ia berpaling padaku. Hanya kedua mata ini mulai deras mengatakan untaian kata yang dulu pernah tertunda.

Kesedihanku adalah saat kehilanganmu
Jangan katakan kau selalu sendiri
Lihatlah di luar taman sunyi ini
Kau akan melihat disana
Masih ada seseorang yang begitu peduli
Padamu…

Ditulis Oleh : Yusnita