Nama:
Lokasi: Bandung, JAWA BARAT, Indonesia

Selamat datang di blog webmaster, website ini merupakan blog pribadi sekaligus lahan untuk bisnis online. Semua tulisan yang ada disini adalah Copyright dari webmaster, walaupun ada sebagian yang copas.. hehehe... :)) Segala sesuatu yang membuat anda menjadi tambah pintar karena website ini, silahkan bagi-bagi hasilnya,,terakhir jangan lupa beri komentar yah mengenai web ini,, Thank's a Lot... :-)

Rabu, 03 September 2008

DI AKHIR EMPAT MUSIM

Alunan takbir mulai terdengar jelas dari masjid dekat rumahku. Ahh… aku menghembuskan napasku pelan-pelan, seolah-olah tidak ingin ada orang yang mengetahuinya. Aku pun beranjak menghampiri jendela kamarku, kusibakkan tirai jendela berwarna biru tua itu. Aku melihat di luar sana anak-anak ramai mengumandangkan takbir sambil bersenda gurau dengan kawan-kawannya yang lain. Sebagian diantaranya menyalakan kembang api, sambil berlari-lari kecil. Mata mereka memancarkan bahagia, seolah-olah sudah tak sabar menanti hari raya idul fitri besok pagi. Terkadang aku merasa iri, iri karena masa kanak-kanak adalah masa yang menyenangkan, tidak ada beban pikiran yang harus ditanggung layaknya orang dewasa. Sejenak aku termenung, entah mengapa hati kecilku mulai meneteskan kesedihan yang teramat sangat. Tak terasa kesedihan itu mulai mengurai-ngurai kenangan-kenangan yang telah lama aku simpan, dan aku tak ingin seorang pun mengusiknya, bahkan sahabat dekatku sekalipun. Biarlah aku memendamnya hanya untuk diriku sendiri.
Aku membalikkan tubuhku, kuhampiri meja belajarku. Aku duduk termangu-mangu, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dalam kegelisahanku, pelan-pelan aku tarik laci meja belajarku. Tanganku meraih sebuah foto. Kedua mataku menatap foto itu dengan seksama. Aku tidak tahu sudah berapa ratus kali, atau jutaan kali aku menatap foto itu. Aku melihat diriku disana tersenyum dengan gaya yang dulu kuanggap keren, kupandangi dengan teliti wajah-wajah sahabatku yang lain. Begitu bahagianya kami, awal-awal persahabatan yang begitu manis dan tak akan pernah kulupakan. Tiba-tiba mataku tertuju pada wajah seseorang di foto itu. Seseorang yang begitu dekat, sekaligus begitu jauh denganku. Andini… bibirku lirih dan kelu menyebut nama perempuan itu. Mengingat dan menyebut namanya mau tidak mau mulai melahirkan rasa bersalah padanya, aku sadar bahwa kami tidak akan seperti dulu lagi. Aku tidak akan pernah lagi mendengar cerita-ceritanya menghiasi hidupku, tidak akan pernah lagi mendengar tawanya yang riang bila melihat tingkah dan leluconku yang lucu, atau sekedar melihat senyumnya yang mengembang tulus jika bertemu denganku.
***
Musim pertama setahun perkenalan kami, aku berjumpa dirinya dengan beberapa sahabatnya. Dari jauh ia memandang diriku, kemudian menundukkan matanya. Aku pun menyapa mereka dan mengucapkan salam. “Alhamdulillah, saya baik-baik saja “ jawabnya, ketika aku menanyakan kabarnya selama liburan beberapa pekan yang lalu. Ingin rasanya aku mengobrol lebih banyak lagi dengan Andini, tapi urung aku lakukan karena masih banyak sahabat-sahabatku yang lain belum aku kunjungi, dan aku terlanjur sudah berjanji pada mereka. Rasanya tidak enak kalau harus membatalkannya.
Jujur saja, aku begitu merindukan suaranya. Aku begitu merindukan hari itu, hari dimana Andini menghampiri diriku.
“Yusuf, aku mau bercerita sesuatu padamu “ atau “Aku butuh bantuanmu, Yusuf ! “. Aku rindu kata-kata itu mengalir dari bibirnya yang lugu. Kata-kata yang begitu ampuh menjadikanku bak pahlawan bagi dirinya pada saat itu juga. Aku rindu dengan mimik wajahnya yang polos tanpa beban, kala ia duduk disampingku dan mulai menceritakan sesuatu. Dan seperti biasanya ketika ia kehabisan topik pembicaraan, ia pun mulai setengah memaksa diriku untuk menggantikan perannya sebagai sang pencerita. Dan aku pun akan terdiam sesaat, hingga rona mukanya memerah karena malu, lalu aku akan mentertawakannya, tak kuasa menahan geli. Tapi itu hanya mimpi, itu hanya masa lalu. Andini yang begitu dekat dan begitu peduli padaku, kini bersikap acuh tak acuh. Kupikir dia hanya sedang marah sesaat padaku. Ternyata dugaanku salah besar. Bukan hanya hitungan hari atau hitungan jam ia bersikap acuh padaku. Tapi hitungan tahun dan ribuan jam ia menjauhi diriku dengan menggantungkan banyak pertanyaan di benakku, mengapa ?... , mengapa ?... dan mengapa ?... Terbersit dalam hatiku untuk bertanya langsung padanya, walaupun pada kenyataannya hanya kebisuan dan jawaban yang menghilang di telan bumi yang aku dapatkan.
***
Di musim kedua, tidak ada yang bisa kulakukan selain hanya fokus pada belajarku. Aku tidak mau mengecewakan keluargaku yang sudah susah payah menyekolahkanku di universitas ini. Aku ingin membahagiakan mereka, dan membalas kebaikan serta pengorbanan mereka selama ini. Di kota ini aku tidak memiliki sanak saudara, aku sangat kesepian. Kadang-kadang air mataku menetes bila rindu kampung halamanku, rindu pada ibu dan bapak yang selalu menanti dengan harap-harap cemas anak laki-lakinya ini. Untunglah banyak sahabat-sahabatku yang selalu mendukung dan mengajakku untuk aktif di kegiatan-kegiatan yang diadakan kampus. Aku merasa tidak sendiri lagi. Kesibukan belajar dan kegiatan-kegiatan kampus sudah begitu banyak menyita perhatianku selama ini. Sudah lama pula aku tak mendengar kabar Andini dan berjumpa dengannya. Bagaimana kabarnya sekarang? pikirku di tengah-tengah kesibukanku mengerjakan tugas makalahku yang menumpuk di akhir semester ketiga ini. Sudah sebulan aku tidak berjumpa dengannya.
***
Di masjid kampus aku sandarkan punggungku ke dinding masjid. Lega rasanya beristirahat disini, melepas lelah setelah beberapa jam tadi mengikuti ujian akhir semester. Udara dingin yang berhembus di koridor masjid, membuatku setengah mengantuk. Para mahasiswa yang sudah menyelesaikan shalat dzuhur mulai meninggalkan masjid satu-persatu. Di pojok koridor masjid masih terlihat beberapa kelompok mahasiswa yang masih asyik berdiskusi tentang tugas-tugas kampus. Rasanya aku malas pulang ke rumah kostku, dalam keadaan udara siang hari dengan panas menyengat seperti ini, walaupun jarak antara kampus dan rumah kostku tidak begitu jauh. Selintas aku melihat sosok yang begitu aku kenal selama ini. Andini… ya, itu Andini, Aku sangat terkejut melihatnya. Tak kusangka selama sebulan aku tidak berjumpa dengannya ia sudah berubah. Kini ia menggunakan jilbab lebar warna putih dengan menggunakan gamis warna hijau muda. Ia tidak melihatku, wajahnya menunduk dan sepertinya ia sedang terburu-buru.
“Andini…” suara itu akhirnya meluncur juga dari mulutku. Panggilan itu hampir tersekat di kerongkongan. Rupanya kurang keras panggilan itu. Andini terus saja berjalan. Tinggal aku sendiri yang masih terdiam di koridor masjid kampus, sambil memandang dirinya.
***
Sejak pertemuanku dengan Andini di masjid. Aku mulai sadar bahwa tidak hanya penampilan luarnya saja yang berubah, tapi sikap, tutur kata dan cara berpikirnya pun seratus persen berubah. Awalnya aku masih belum terbiasa dengan perubahannya itu. Tapi lama-kelamaan dalam hati kecilku muncul perasaan kagum dan hormat padanya. Sekarang Andini lebih banyak diam daripada berbicara. Ia hanya berbicara sekedarnya saja padaku, apabila ada hal-hal penting yang harus disampaikannya. Andini tidak seperti sahabat-sahabat perempuanku yang lain, yang kadang-kadang terlalu berani dalam pergaulan terhadap lawan jenis. Sahabat-sahabatku di kampus selalu membicarakannya. Apalagi tentang keshalihannya. Tetapi justru perubahannya itu membawa dampak besar pada persahabatan kami. Ia semakin sulit untuk aku dekati, bahkan ia terkadang selalu menjaga jarak denganku. Walaupun tidak kupungkiri ia tetap sahabat terbaik yang aku kenal.
Hari-hari terus bergulir, sedangkan Andini semakin asing bagiku. Ada perasaan kehilangan yang semakin menggerogoti hati dan ketenanganku. Bahkan perasaan itu lambat laun mulai menyiksaku. Sedangkan Andini seolah tidak mau lagi peduli denganku. Ia selalu pergi berlalu dariku atau membuang pandangannya, ketika ia mendapati aku sedang sembunyi-sembunyi memandang dirinya. Entah mengapa aku merasa dunia begitu sempit, padahal dulu bukankah dunia ini begitu luas untuk aku tinggali. Aku selalu bermimpi di malam hari yang sunyi, berharap Andini hanya sedang mencandaiku selama ini. Lalu ia akan tertawa riang karena berhasil membuatku sedih atas sikapnya itu. Tapi… harapan itu kembali pupus, ketika kusadari esok paginya ia semakin tenggelam dalam keterasingannya padaku.
“Maafkanlah aku, Andini “ ucapku, di suatu musim akhir tahun kedua. Daun-daun di musim itu berguguran dan terjatuh layu di pangkuannya. Tangannya perlahan meraih selembar daun yang sudah meranggas kering. Menggenggamnya dan menyerahkannya padaku dengan senyuman yang tidak aku bisa pahami. Dan ketika itu pula hatiku menangis dalam diam.
***
Di awal musim ketiga, aku kini hidup bertemankan rasa bersalah yang telah menemukan puncaknya. Setetes demi setetes, kurasakan pula ketidakadilan yang diberikan Andini padaku. Bukankah aku juga punya hak seperti sahabat-sahabatnya yang lain ?! yang ia percayai, ia sayangi dan ia terima pula seluruh hidupnya. Sedangkan aku ?!, kini aku menilai, bahwa aku tak lebih dari manusia menjijikan berlumuran kotoran, hingga ia merasa jijik dan menolakku untuk dekat dengannya.
Andini… berilah aku ruang ampunan untuk menyimpan maaf. Akan aku katakan ratusan maaf, ribuan maaf bahkan jutaan maaf untukmu. Walaupun kuakui bahwa aku mulai ragu, entah ragu pada dirinya yang belum tentu memaafkanku?, ragu pada ketulusanku sendiri padanya selama ini?, atau ragu…kalau aku sendiri belum tahu apa kesalahanku selama ini padanya?. Aku semakin bingung dan merasa… tolol !.Terkadang rasa ego ini mengatakan, untuk apa kulakukan semua ini ?!, bersimpuh padanya layaknya pengemis, hanya untuk mendengar dari bibirnya sebuah kalimat ampunan “Yusuf, aku memaafkanmu”. Andai aku bisa membaca pikiran dan isi hatimu Andini, mungkin aku tidak akan pernah membuat luka yang mungkin sedang kau rasakan saat ini, bisikku. Tapi aku tak mampu! tak pernah mampu! karena aku hanya manusia, bukan malaikat!. Bicaralah Andini, bicaralah lalu katakan apa salahku padamu! jangan hanya diam membisu, belum cukupkah kau menghukumku seperti ini!. Jangan biarkan pikiranku perlahan-lahan menjadi sesat, Andini ! jangan pernah !.
***
Hari ini di musim keempat, Andini duduk disana seorang diri dalam taman kelabu miliknya sendiri, dalam kesunyian dan kesedihan. Bibirnya terkatup, matanya menunduk sayu, melihat ulah angin di senja itu mempermainkan daun-daun di ujung sepatunya. Jilbab warna coklat yang dikenakannya sangat kontras dengan pipinya yang putih. Kedua tangannya perlahan-lahan mulai memeluk badannya. Badannya terguncang pelan, menahan tangis sekuat tenaga, lirihannya begitu menyayat hati. Akhirnya perjuangan Andini sia-sia, di sudut mata luruhlah air mata itu membasahi pipinya.
Aku ingin masuk ke taman itu, menyeka air matanya dan mengatakan padanya bahwa ia tidak pernah sendiri. Dari kejauhan aku tidak bisa mempercayai, bahwa perempuan yang sedang duduk di taman itu adalah perempuan yang pernah kukenal, yang dulu penuh dengan keceriaan, penuh dengan ketulusan dan penuh dengan cita-cita mulia dalam hidupnya. Dan tidak pernah meneteskan air mata di hadapan laki-laki ini. Kini ia seperti perempuan tak berdaya, yang mulai mengikis ketegarannya satu demi satu seiring kembalinya mentari di ufuk barat. Tapi aku tidak bisa masuk ke taman itu, pagar ini terlalu kokoh, terlalu angkuh, dan saat itu juga aku merasa lemah. Aku tidak menjerit bahkan berteriak menyebut namanya agar ia berpaling padaku. Hanya kedua mata ini mulai deras mengatakan untaian kata yang dulu pernah tertunda.

Kesedihanku adalah saat kehilanganmu
Jangan katakan kau selalu sendiri
Lihatlah di luar taman sunyi ini
Kau akan melihat disana
Masih ada seseorang yang begitu peduli
Padamu…

Ditulis Oleh : Yusnita

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda